Minggu, 02 Desember 2018

Maaf

Pernah saya dengar, manusia itu diciptakan memang untuk melakukan kesalahan, itu sebabnya mengapa Tuhan Maha Pemaaf. Sayangnya, manusia tidak mempunyai sifat "Maha Pemaaf" sehingga tak jarang saat orang lain melakukan kesalahan, kita sulit untuk memaafkannya. Mungkin karena terlalu sakit hati atau dendam. Tapi ternyata, setelah saya rasakan, menyimpan dendam dan menahan rasa sakit dalam hati kita itu lebih sulit dan lebih berat daripada memaafkan semua kesalahan dan mengikhlaskan yang sudah terjadi. Memang awalnya berat memberikan maaf atas satu kesalahan yang dilakukan oleh orang lain terhadap kita. Namun, siapa kita hingga kita berhak untuk menyalahkan orang tersebut? Manusia kan memang ditakdirkan untuk melakukan kesalahan, wajar bila orang lain melakukan kesalahan dan yang mungkin menyakiti kita. Lalu, muncul satu pertanyaan lagi. Kalau semua orang yang bersalah dimaafkan, untuk apa ada penjara? Pertanyaan sinis yang menjadi alasan kita untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Satu hal yang harus dipahami: tidak memberi hukuman pada seseorang yang berbuat salah bukan berarti kita tidak memaafkan orang tersebut. Memaafkan adalah mengikhlaskan kesalahan yang terjadi, melupakan, dan menerima. Bila memang orang yang melakukan kesalahan tersebut tidak layak untuk dimaafkan, setidaknya berilah ia maaf demi ketenangan hati kita, bukan demi orang itu. Memang kita bukan "Maha Pemaaf", tetapi cobalah untuk memafkan kesalahan, melupakan rasa sakit di hati, dan menghilangkan dendam, agar setiap harinya kita bisa tidur dengan damai tanpa beban apapun di hati. Mengapa? Karena kita berhak bahagia.

Selasa, 06 November 2018

Kekurangan

Hari ini, saya menemukan teman-teman saya melakukan hal yang membuat saya kecewa. Bagi saya, apa yang mereka lakukan di belakang saya menunjukkan bahwa mereka cukup 'pengecut' dan melanggar tata krama. Selama empat tahun saya mengenal mereka, saya melihat mereka adalah orang yang cukup taat dalam menjalankan perintah agama, bila dibandingkan dengan saya. Tapi, mengapa mereka masih melakukan hal tersebut? Mungkin mereka menganggap hal itu gurauan yang lucu. Tapi bagi saya itu sama saja dengan merendahkan orang lain, termasuk saya. Satu hal yang saya herankan, mereka merendahkans orang lain pasti mereka merasa diri mereka lebih baik dari orang yang menjadi sasaran 'lelucon' mereka. Pertanyaannya, benarkah demikian? Saya rasa tidak. Jujur, saya marah dan kecewa dengan kelakuan mereka. Tetapi, itulah manusia dengan segala sifat dan kelauannya. Pertanyaan selanjutnya yang muncul di kepala saya: apakah agama mengajarkan demikian? Setahu saya, semua agama mengajarkan pada kebaikan, dan menyakiti perasaan orang lain, bahkan dengan kata-kata, bukanlah suatu kebaikan yang diajarkan oleh agama apapun. Lantas, mengapa banyak manusia, termasuk saya, melakukan hal tersebut? Mungkin, satu jawaban ini bisa mewakili beribu alasan: khilaf. Saya bukan orang yang paham dengan agama. Bukan pula penganut agama yang 'taat', bahkan cenderung 'konservatif'. Tingkah laku dan perkataan saya mungkin sering menyakiti hati orang lain, meskipun secara tidak langsung. Saya juga tidak punya hak memutuskan apakah hal yang dilakukan teman saya itu termasuk dosa atau tidak. Saya tidak berwenang untuk menghakimi mereka. Namun, dari sudut pandang saya, apa yang mereka lakukan jauh dari etika dan adab yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut tidak menggambarkan seorang 'cendekiawan' yang sudah diwisuda beberapa minggu lalu. Mungkin, meeka melakukan hal tersebut karena melihat kekurangan saya, dan mereka anggap itu lucu. Saya memang tidak lebih baik dari mereka untuk beberapa hal. Tetapi, saya jadi terbuka, bahwa seperti itulah sifat asli mereka. Namun, percuma saya marah, percuma saya kecewa, karena itu mungkin 'hak' mereka. Mereka anggap, kekurangan yang ada pada diri saya adala lelucon untuk mengisi waktu luang di sela kesibukan kantor. Namun bagi saya, apa yang mereka anggap 'kekurangan' pada diri saya bukanlah hal yang memalukan. Memang perlu diperbaiki, tapi tidak lantas menurunkan nilai diri saya. Apa rencana saya selanjutnya? Tentu saja balas dendam. Balas dendam pada mereka yang sudah menyakiti saya. Namun, satu hal yang terus melekat di benak saya: balas dendam terbaik adalah dengan menjadi sosok yang lebih baik lagi dibandingkan mereka yang sudah menyakiti saya. Terus berbuat baik, dan berusaha menjadi lebih baik setiap harinya. Usaha keras untuk mencapai target yang sudah ditetapkan. Hingga akhirnya, mereka tidak punya celah untuk menjadikan saya bahan lelucon. Kalaupun mereka masih menemukan celah itu, saya hanya akan tertawa. Menertawakan kebodohan mereka yang tidak mampu menggunakan waktu dengan bijak.

Jumat, 03 Agustus 2018

memandang hidup orang lain

Setiap orang ternyata punya masalah masing-masing. Sesempurna hidup seseorang, setidaknya pasti ada satu masalah yang sedang dia hadapi. Dulu saya merasa hidup yang saya jalani penuh dengan masalah. Entah itu masalah dengan keluarga, dengan tugas kuliah, dengan teman, dan masih banyak lagi. Saya selalu membandingkan hidup saya dengan yang lain, dan saya selalu yakin, hidup orang lain lebih menyenangkan bila dibandingkan dengan hidup yang saya jalani. Sampai akhirnya saya sadar, hidup yang saya jalani lebih baik bila dibandingkan orang-orang di luar sana. Hampir semua yang saya butuhkan sudah saya miliki. Keluarga yang lengkap, kesempatan menempuh pendidikan, raga yang lengkap,dan teman-teman yang setia. Hanya satu hal yang tidak saya miliki selama ini : rasa syukur. Memang, satu helai daun tidak bisa menutupi permukaan dunia, tapi bisa menutupi mata kita hingga kita tidak bisa melihat keindahan dunia. Beberapa waktu lalu, seorang teman saya menceritakan masalah yang sedang dia hadapi saat ini. Selama ini, saya melihat dia mempunyai kehidupan yang sempurna. Keluarga, uang, bakat, teman, dan kepandaian.Sepertinya, ia tidak pernah menemui masalah dalam hidupnya. Tapi ternyata, dia sedang menghadapi masalah yang cukup besar, yang bahkan saya tidak pernah membayangkannya. Teman saya lainnya, yang saya pikir mempunyai hidup yang sangat sempurna dari segi apapun, ternyata juga mempunyai permasalahan yang cukup pelik, dan bahkan berkaitan dengan masa depannya. Pandangan saya berubah. Saya tidak lagi iri dengan kehidupan yang mereka jalani, justru saya merasa bersyukur mempunyai hidup yang "normal". Satu hal yang saya mulai mengerti adalah, setiap manusia mempunyai permasalahan yang harus dihadapi. Entah apa tujuannya, tapi pasti masalah itu akan menjadikan diri kita lebih kuat dan lebih dewasa. Saat kita merasa masalah yang kita hadapi cukup sulit dan tak ada jalan keluar, jangan pernah berpikir untuk berhenti dan menyerah kalah. Jangan merasa lemah. Mungkin, kita hanya merasa lelah dan butuh beristirahat sejenak. Ingatlah, kita masih punya doa yang selalu bisa kita andalkan. Doa-lah yang menjadi penyambung antara kita dan Pemilik Alam Semesta ini.

Senin, 10 Oktober 2016

Seorang Pengajar

Beberapa hari lalu, saya menghabiskan waktu cukup lama untuk mengobrol dengan salah satu guru saya. Ada sebuah kalimat dari beliau yang membuat saya tertegun. Ya, sebagai pengajar, beliau selalu mendedikasikan waktunya untuk membagi ilmu yang ia punya kepada semua murid-muridnya. Di kelas ketika kegiatan belajar mengajar, beliau berusaha mengajak murid-murid untuk berpikir ilmiah dan bersikap dewasa. Tetapi, apa yang beliau lakukan selama ini di dalam kelas bukan hanya mengajar. Apa yang selama ini belau lakukan adalah mengajar sambil belajar. Ya, tak hanya memberikan ilmu, seorang pendidik, sebagai manusia, juga harus belajar. Ya, belajar tak berarti menekuni buku setebal ratusan halaman atau membaca jurnal ilmiah. Belajar juga bukan hanya mengerjakan soal-soal fisika atau matematika dengan penurunan rumus yang rumit. Mencoba memahami karakter setiap individu yang ada di dalam kelas dan menentukan strategi apa yang harus beliau gunakan utuk mengajar kami hari ini, itu adalah sebuah proses pembelajaran. Dari pertanyaan yang kami ajukan, belau belajar banyak hal. Meskipun pertanyaaan kami terdengar "bodoh" sekalipun, beliau tetap belajar dari kami. Menjadi seorang pengajar, bukan berarti tidak pernah belajar. Seorang pengajar juga dituntut untuk selalu belajar, dimanapun ia berada, dan apapun yang ia pelajari. Perintah Tuhan sudah sangat jelas, bahwa kita diwajibkan untuk terus belajar, meskipun kita juga mengajar. Dalam hati saya, saya merasa malu. Sebagai seorang pelajar yang dianggap 'terpelajar', pandanngan saya terhadap belajar sangat sempit. Saya beranggapan belajar hanya di dalam kelas, mengerjakan tugas, menekuni soal dengan rumus yang rumit, dan membaca jurnal sebagai bahan referensi. Ternyata saya salah. Belajar tak sesempit itu. Belajar, adalah proses kita mengambil nilai yang bermanfaat dari lingkungan, dari hidup, dari siapapun. Belajar adalah sebuah proses tanpa akhir, yang harus kita lakukan hingga tugas kita di dunia ini telah selesai. Belajar, adalah cara Tuhan mendidik kita untuk menjadi dewasa dengan segala masalah yang dihadapi dalam hidup. Belajar, dan temukan hal baru setiap harinya. Percayalah, hidup kita akan terasa lebih bermakna. Selamat belajar.

Minggu, 28 Agustus 2016

Dewasa

Menurut kalian, bagaimanakah menjadi dewasa itu? Umur yang sudah mencapai kepala dua? Tubuh yang mulai memperlihatkan ciri kedewasaannya? Atau semakin tingginya jenjang pendidikan kita, menyebabkan bertambah suatu gelar di belakang nama kita? Menurut saya, bukan semuanya. Dewasa bukan berarti umur yang makin bertambah, badan yang makin tumbuh, maupun pendidikan yang makin tinggi. Bagi saya, dewasa itu adalah masa dimana kita mulai kehilangan kebebasan. Masa dimana kita mulai melupakan bagaimana caranya untuk tertawa lepas. Dewasa, bagi saya cukup menakutkan. Jujur, saya takut beban saya makin bertambah sementara waktu saya makinberkurang. Saya takut menghadapi masalah orang dewasa dengan segala kompleksitas kehidupannya. Saya takut kehilangan kesederhanaan seorang anak kecil yang mudah tertawa lepas. Hal sederhana mampu membuatnya bahagia. Sementara bagi orang dewasa? Sangat sulit untuk tertawa lepas di tengah semua masalah yang menghadang. Bila saya boleh memilih, saya memilih tetap hidup sebagai anak kecil dengan semua keceriaan dan kepolosannya. Ya, andai saja saya bisa memilih seperti itu. Sayangnya, kemampuan saya sebagai manusia tak mampu melakukannya. Mau tidak mau, saya harus menghadapi masa sebagai seorang dewasa. Menjadi dewasa itu seperti menghadapi musuh yang ada di depan kita. Kita tidak bisa mundur, dan satu-satunya jalan hanyalah menghadapinya dengan segala kemampuan yang kita miliki. Menjadi dewasa memang berat, tapi berat bukan berarti tak bisa.

Minggu, 21 Agustus 2016

Empat tahun

Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Banyak hal yang terjadi selama kurun waktu empat tahun. Sejak tahun 2012 hingga 2016 ini, ada banyak peristiwa dan pengalaman yang membawa perubahan dalam hidup saya. Mulai dari kesibukan masa SMA, beberapa event yang menyita waktu belajar dan bermain, pindah hingga saya hanya tinggal berdua dengan kakak, lulus dari SMA, dan melanjutkan kuliah yang mengharuskan saya tinggal di dalam asrama dengan segala keterikatannya. Selama empat tahun itu juga saya berusaha untuk melupakan rasa pedih yang cukup menyesakkan. Selama empat tahun saya berusaha untuk bangkit dan berusaha menjadi pribadi yang lebih dewasa. Sulit memang menjalaninya, tapi nyatanya, empat tahun ini sudah saya lewati, dan saya masih baik-baik saja. Dan setelah empat tahun yang saya lalui, saya kembali dipertemukan dengan kenangan yang pernah membuat air mata mengalir deras empat tahun lalu. Awalnya saya merasa marah dan tak bisa menerima pertemuan ini. Selama empat tahun saya berjuang untuk melupakan kenangan tersebut, dan sekarang kenangan itu muncul untuk menyapa. Namun, kemarahan tak akan menyelesaikan apapun. Empat tahun sudah cukup bagi saya untuk bangkit. Dan sekarang, setelah empat tahun berjuang, tak masalah bagi saya bertemu dengan kenangan tersebut. Bahkan, saya sanggup menyapa kenangan tersebut dengan lapang dada, tanpa rasa sedih dan marah. Mungkin, semua amarah yang ada telah terhapus selama empat tahun ini, sehingga saya merasa ikhlas memberikan senyum untuk kenangan yang datang menyapa. Ya, empat tahun sudah cukup untuk memperbaiki semuanya, dan sekarang waktunya untuk melangkah ke depan, tanpa beban apapun. EMpat tahunke belakang berhasil saya lalui, dan saatnya saya mempersiapkan diri untuk empat tahun ke depan. Tentunya akan ada banyak kejadian yang tak terduga dan mengubah hidup saya, tapi saya akan selalu siap. Saya siap menjalani empat tahun ke depan, dan tentunya belajar menjadi pribadi yang lebih dewasa lagi selama empat tahun ke depan.

Sabtu, 09 April 2016

Jilbab

Banyak pertanyaan yang ditujukan pada saya. Mengapa kamu mau berjilbab? Apa kamu yakin dengan jilbab kamu sekarang? Jujur, saya sering merasa bingung jawaban apa yang harus saya berikan. Alasan saya menggunakan penutup kepala seperti saat ini, saya juga tidak tahu. Apa karena saya merasa sholat saya sudah benar? Bukan, bukan itu. Saya akui, sholat saya justru jauh dari kata benar dan tepat waktu. Bahkan, tak jarang saya lupa dan lalai terhadap ibadah wajib itu. Lalu apa alasannya? Mungkin saya hanya bisa menjawab, mungkin saya sudah mendapat hidayah dari Yang Maha Kuasa. Entah benar entah tidak, hanya itu yang bisa saya jawab. Mengapa? Karena awalnya, semakin saya berpikir untuk mengenakan jilbab, semakin saya takut untuk memulainya. Takut tidak bisa memakai dengan rapi, tidak sesuai aturan, tidak cukup waktu untuk menegnakannya, dan masih banyak lagi. Beberapa ketakutan itu membuat saya menunda menggunakan jilbab sampai kemarin. Ya, rasanya banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk menutup aurat saya. Sampai pada akhirnya, syaa merasa ketakutan yang saya pikirkan selama ini justru menghalangi niatan awal saya untuk menggunakan jilbab. Saya sadar, hanya ada dua pilihan. Membiarkan hidup saya diliputi ketakutan tentang jilbab atau melawan ketakutan dan memulai menggunakan jilbab. Dan, saya memilih pilihan kedua. Entah apa yang menggerakkan hati saya untuk memilih pilihan kedua, tapi saya yakin, itu adalah panggilan untuk semakin mendekat pada-Nya. Pertanyaan kedua yang setiap hari saya dengar, apa saya yakin dengan jilbab saya sekarang? Jujur, saya ragu. Saya ragu apakah hati saya benar-benar bersih untuk mengenakan jilbab. Saya ragu apakah murni saya menggunakan jilbab karena Allah. Saya masih ragu apa benar saya ingin istiqomah di jalan-Nya. Hanya Tuhan yang tahu diri saya, bahkan Ia memahami saya, lebih dari pemahaman saya terhadap diri saya sendiri. Saya hanya ingin mendekat pada-Nya, dan saya yakin, keyakinan saya akan jilbab yang saya gunakan saat ini akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan saya akan berusaha mencari keyakinan itu.