Senin, 21 Juli 2014

Sepenggal Catatan di Rumah Tuhan

Beberapa hari yang lalu, saya menghabiskan beberapa hari di Bogor, tepatnya Parung. Setelah menghabiskan empat malam di sana saya bersama seorang teman baru dari Purwokerto memutuskan untuk pulang bersama. Ya, perjalanan selama semalaman tidak akan saya lakukan seorang diri, maka dari itu saya memilih pulang bersama teman saya. Sesuai rencana yang telah kami susun sebelumnya, saya berangkat dari Parung sekitar pukul tiga sore, naik kendaraan umum menuju Terminal Lebak Bulus. Karena macetnya jalan ibu kota, saya baru tiba di terminal sekitar pukul lima sore. Bagi saya, itu adalah perjalanan yang sangat lama karena jaraknya tidak terlalu jauh. Bila di Yogyakarta, jarak itu dapat ditempuh hanya dalam waktu kurang dari satu jam.
Sesampainya di terminal, banyak sekali calo-calo berkeliaran mengelilingi kami untuk menawarkan tiket dengan harga ‘murah’. Karena kami sudah pernah melakukan perjalanan yang sama sebelumnya, kami acuhkan saja calo-calo tersebut, dan langsung berjalan ke arah masjid di terminal tersebut diiringi gerutuan para calo.
Ternyata, kami melakukan sebuah kesalahan. Sebelumnya, kami belum memesan tiket bus, sehingga kami harus menunggu bus malam terakhir yang akan tiba hari itu. Bus yang akan kami naiki akan tiba sekitar pukul setengah delapan malam. Ya, ternyata kami harus berbuka puasa di masjid Terminal Lebak Bulus. Awalnya memang saya merasa aneh dan jenuh bila harus berbuka puasa di tempat seperti itu. Bayangkan saja, saat rasa haus mulai menyerang setelah terjebak macet dan tangan yang mulai lelah membawa tas yang sangat berat, kami harus menunggu waktu berbuka di tengah-tengah teriakan calo, pedagang asongan, dan entah teriakan apa lagi. Benar-benar sebuah ujian yang sangat berat bagi saya, mengingat selama ini pemahaman saya mengeai agama sangat kurang.
Lima menit terasa sangat lama, seolah-olah kami telah menunggu selama berjam-jam. Setelah penantian yang sangat panjang dan melelahkan, akhirnya bedug di masjid dipukul, adzan pun dikumandangkan oleh muadzin. Rasanya lega, semua rasa lelah hilang seketika. Kami memutuskan untuk duduk di serambi masjid untuk minum sekedar membatalkan puasa. Air mineral yang kami teguk terasa sangat menyegarkan kerongkongan. Ya, itulah kenikmatan berbuka puasa, minuman apapun mampu menyegarkan dan menghilangkan rasa dahaga seketika.
Tiba-tiba, salah seorang takmir masjid itu memberikan kami masing-masing segelas kolak dan sepiring makanan kecil sekedar untuk mengganjal perut saat berbuka. Kami benar-benar tak menyangka, di tengah-tengah tempat yang menurut kami ‘keras’, masih ada banyak kebaikan dari beberapa orang di sekeliling kami.

Seketika, saya langsung merasa tersentuh. Ternyata, tempat yang ‘keras’ bukan berarti tempat yang sama sekali tak ramah. Masih ada orang yang peduli pada sesama, yang tidak hanya mementingkan diri sendiri. Masih ada orang yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata. Yang lebih membuat saya tersentuh, semua itu saya alami di sebuah masjid. Tempat ibadah yang selama ini jarang sekali saya kunjungi. Ya, Tuhan telah membuka mata hati saya. Tuhan telah mengajarkan pada saya untuk tetap peduli pada sesama dimanapun saya berada. Juga mengingatkan saya untuk sering mengunjungi rumah Tuhan, karena hanya di rumah-Nya lah kita dapat merasa aman dan tentram.