Senin, 10 Oktober 2016

Seorang Pengajar

Beberapa hari lalu, saya menghabiskan waktu cukup lama untuk mengobrol dengan salah satu guru saya. Ada sebuah kalimat dari beliau yang membuat saya tertegun. Ya, sebagai pengajar, beliau selalu mendedikasikan waktunya untuk membagi ilmu yang ia punya kepada semua murid-muridnya. Di kelas ketika kegiatan belajar mengajar, beliau berusaha mengajak murid-murid untuk berpikir ilmiah dan bersikap dewasa. Tetapi, apa yang beliau lakukan selama ini di dalam kelas bukan hanya mengajar. Apa yang selama ini belau lakukan adalah mengajar sambil belajar. Ya, tak hanya memberikan ilmu, seorang pendidik, sebagai manusia, juga harus belajar. Ya, belajar tak berarti menekuni buku setebal ratusan halaman atau membaca jurnal ilmiah. Belajar juga bukan hanya mengerjakan soal-soal fisika atau matematika dengan penurunan rumus yang rumit. Mencoba memahami karakter setiap individu yang ada di dalam kelas dan menentukan strategi apa yang harus beliau gunakan utuk mengajar kami hari ini, itu adalah sebuah proses pembelajaran. Dari pertanyaan yang kami ajukan, belau belajar banyak hal. Meskipun pertanyaaan kami terdengar "bodoh" sekalipun, beliau tetap belajar dari kami. Menjadi seorang pengajar, bukan berarti tidak pernah belajar. Seorang pengajar juga dituntut untuk selalu belajar, dimanapun ia berada, dan apapun yang ia pelajari. Perintah Tuhan sudah sangat jelas, bahwa kita diwajibkan untuk terus belajar, meskipun kita juga mengajar. Dalam hati saya, saya merasa malu. Sebagai seorang pelajar yang dianggap 'terpelajar', pandanngan saya terhadap belajar sangat sempit. Saya beranggapan belajar hanya di dalam kelas, mengerjakan tugas, menekuni soal dengan rumus yang rumit, dan membaca jurnal sebagai bahan referensi. Ternyata saya salah. Belajar tak sesempit itu. Belajar, adalah proses kita mengambil nilai yang bermanfaat dari lingkungan, dari hidup, dari siapapun. Belajar adalah sebuah proses tanpa akhir, yang harus kita lakukan hingga tugas kita di dunia ini telah selesai. Belajar, adalah cara Tuhan mendidik kita untuk menjadi dewasa dengan segala masalah yang dihadapi dalam hidup. Belajar, dan temukan hal baru setiap harinya. Percayalah, hidup kita akan terasa lebih bermakna. Selamat belajar.

Minggu, 28 Agustus 2016

Dewasa

Menurut kalian, bagaimanakah menjadi dewasa itu? Umur yang sudah mencapai kepala dua? Tubuh yang mulai memperlihatkan ciri kedewasaannya? Atau semakin tingginya jenjang pendidikan kita, menyebabkan bertambah suatu gelar di belakang nama kita? Menurut saya, bukan semuanya. Dewasa bukan berarti umur yang makin bertambah, badan yang makin tumbuh, maupun pendidikan yang makin tinggi. Bagi saya, dewasa itu adalah masa dimana kita mulai kehilangan kebebasan. Masa dimana kita mulai melupakan bagaimana caranya untuk tertawa lepas. Dewasa, bagi saya cukup menakutkan. Jujur, saya takut beban saya makin bertambah sementara waktu saya makinberkurang. Saya takut menghadapi masalah orang dewasa dengan segala kompleksitas kehidupannya. Saya takut kehilangan kesederhanaan seorang anak kecil yang mudah tertawa lepas. Hal sederhana mampu membuatnya bahagia. Sementara bagi orang dewasa? Sangat sulit untuk tertawa lepas di tengah semua masalah yang menghadang. Bila saya boleh memilih, saya memilih tetap hidup sebagai anak kecil dengan semua keceriaan dan kepolosannya. Ya, andai saja saya bisa memilih seperti itu. Sayangnya, kemampuan saya sebagai manusia tak mampu melakukannya. Mau tidak mau, saya harus menghadapi masa sebagai seorang dewasa. Menjadi dewasa itu seperti menghadapi musuh yang ada di depan kita. Kita tidak bisa mundur, dan satu-satunya jalan hanyalah menghadapinya dengan segala kemampuan yang kita miliki. Menjadi dewasa memang berat, tapi berat bukan berarti tak bisa.

Minggu, 21 Agustus 2016

Empat tahun

Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Banyak hal yang terjadi selama kurun waktu empat tahun. Sejak tahun 2012 hingga 2016 ini, ada banyak peristiwa dan pengalaman yang membawa perubahan dalam hidup saya. Mulai dari kesibukan masa SMA, beberapa event yang menyita waktu belajar dan bermain, pindah hingga saya hanya tinggal berdua dengan kakak, lulus dari SMA, dan melanjutkan kuliah yang mengharuskan saya tinggal di dalam asrama dengan segala keterikatannya. Selama empat tahun itu juga saya berusaha untuk melupakan rasa pedih yang cukup menyesakkan. Selama empat tahun saya berusaha untuk bangkit dan berusaha menjadi pribadi yang lebih dewasa. Sulit memang menjalaninya, tapi nyatanya, empat tahun ini sudah saya lewati, dan saya masih baik-baik saja. Dan setelah empat tahun yang saya lalui, saya kembali dipertemukan dengan kenangan yang pernah membuat air mata mengalir deras empat tahun lalu. Awalnya saya merasa marah dan tak bisa menerima pertemuan ini. Selama empat tahun saya berjuang untuk melupakan kenangan tersebut, dan sekarang kenangan itu muncul untuk menyapa. Namun, kemarahan tak akan menyelesaikan apapun. Empat tahun sudah cukup bagi saya untuk bangkit. Dan sekarang, setelah empat tahun berjuang, tak masalah bagi saya bertemu dengan kenangan tersebut. Bahkan, saya sanggup menyapa kenangan tersebut dengan lapang dada, tanpa rasa sedih dan marah. Mungkin, semua amarah yang ada telah terhapus selama empat tahun ini, sehingga saya merasa ikhlas memberikan senyum untuk kenangan yang datang menyapa. Ya, empat tahun sudah cukup untuk memperbaiki semuanya, dan sekarang waktunya untuk melangkah ke depan, tanpa beban apapun. EMpat tahunke belakang berhasil saya lalui, dan saatnya saya mempersiapkan diri untuk empat tahun ke depan. Tentunya akan ada banyak kejadian yang tak terduga dan mengubah hidup saya, tapi saya akan selalu siap. Saya siap menjalani empat tahun ke depan, dan tentunya belajar menjadi pribadi yang lebih dewasa lagi selama empat tahun ke depan.

Sabtu, 09 April 2016

Jilbab

Banyak pertanyaan yang ditujukan pada saya. Mengapa kamu mau berjilbab? Apa kamu yakin dengan jilbab kamu sekarang? Jujur, saya sering merasa bingung jawaban apa yang harus saya berikan. Alasan saya menggunakan penutup kepala seperti saat ini, saya juga tidak tahu. Apa karena saya merasa sholat saya sudah benar? Bukan, bukan itu. Saya akui, sholat saya justru jauh dari kata benar dan tepat waktu. Bahkan, tak jarang saya lupa dan lalai terhadap ibadah wajib itu. Lalu apa alasannya? Mungkin saya hanya bisa menjawab, mungkin saya sudah mendapat hidayah dari Yang Maha Kuasa. Entah benar entah tidak, hanya itu yang bisa saya jawab. Mengapa? Karena awalnya, semakin saya berpikir untuk mengenakan jilbab, semakin saya takut untuk memulainya. Takut tidak bisa memakai dengan rapi, tidak sesuai aturan, tidak cukup waktu untuk menegnakannya, dan masih banyak lagi. Beberapa ketakutan itu membuat saya menunda menggunakan jilbab sampai kemarin. Ya, rasanya banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk menutup aurat saya. Sampai pada akhirnya, syaa merasa ketakutan yang saya pikirkan selama ini justru menghalangi niatan awal saya untuk menggunakan jilbab. Saya sadar, hanya ada dua pilihan. Membiarkan hidup saya diliputi ketakutan tentang jilbab atau melawan ketakutan dan memulai menggunakan jilbab. Dan, saya memilih pilihan kedua. Entah apa yang menggerakkan hati saya untuk memilih pilihan kedua, tapi saya yakin, itu adalah panggilan untuk semakin mendekat pada-Nya. Pertanyaan kedua yang setiap hari saya dengar, apa saya yakin dengan jilbab saya sekarang? Jujur, saya ragu. Saya ragu apakah hati saya benar-benar bersih untuk mengenakan jilbab. Saya ragu apakah murni saya menggunakan jilbab karena Allah. Saya masih ragu apa benar saya ingin istiqomah di jalan-Nya. Hanya Tuhan yang tahu diri saya, bahkan Ia memahami saya, lebih dari pemahaman saya terhadap diri saya sendiri. Saya hanya ingin mendekat pada-Nya, dan saya yakin, keyakinan saya akan jilbab yang saya gunakan saat ini akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan saya akan berusaha mencari keyakinan itu.

Sabtu, 02 April 2016

Hijrah

Apa yang pernah terpikirkan mendengar kata itu ? Bagi saya pribadi, awalnya saya memahami hijrah sebagai pindah ke tempat yang baru. Ya, hanya sebatas pindah. Sampai akhirnya saya memahami ada arti yang lebih luas dari sekedar 'pindah'. Mungkin terlambat memnag mengetahuinya, tapi saya hanya ingin membagi pemahaman saya yang baru. Hijrah bukan sekedar pindah ke tempat baru. Hijrah adalah sebuah kepindahan dari masa lalu yang buruk menuju masa depan yang lebih baik. Dari seseorang yang masih ragu akan agamanya, menjadi seorang yang yakin dan mantap akan agamanya. Dari seseorang yang biasa saja menjadi seseorang yang ingin lebih dekat dengan Pencipta. Mungkin pemahaman saya tentang hijrah masih sangat sederhana, seperti anak kecil yang bertanya tentang hujan pada ibunya. Meski sederhana, pemahaman itu mendorong saya untuk melakukannya. Ya, melakukan perpindahan ke tempat yang lebih dekat dengan Tuhan. Mungkin saya terlambat melakukannya, tapi inilah perjalanan saya. Inilah hijrah yang aka saya lakukan, sedikit demi sedikit, secara perlahan-lahan.

Rabu, 10 Februari 2016

Profesional

Profesional. Ya, bagaimana kita dapat menjadi seorang yang profesional? Yang dapat memisahkan antara pekerjaan dan masalah pribadi. Sepertinya mudah, tidak mencampur adukkan urusan. Tapi sekarang saya merasakan, itu adalah hal tersulit yang harus saya lakukan saat ini. Jujur, selama ini saya mencoba untuk menjadi seorang yang profesional. Tapi masalah yang saya hadapi kali ini ternyata begitu berat. Keputusan yang diambil oleh kedua orangtua saya membuat saya bingung. Mau melakukan apapun, saya tidak sanggup untuk fokus. Sempat saya ditegur oleh seorang teman karena kali ini saya tidak mampu berlaku profesional. Tapi apa boleh buat,saya hanya seorang anak yang belum genap berusia dua puluh tahun, dan tinggal jauh dari orangtua saya. Keputusan apapun yang diambil oleh orangtua saya tentu tanpa melibatkan saya, sehingga saya tidak tahu apapun. Yang saya yakini, mereka mengambil keputusan itu hanya berdasarkan emosi saja. Ingin rasanya pulang ke rumah, mendapatkan penjelasan mereka apa yang sebenarnya terjadi.