Saya mempunyai seorang kakak perempuan yang usianya hanya 22 bulan lebih tua dari saya. Ya, beda umur yang tidak terlalu jauh itu membuat kami selalu bertengkar. Ada banyak hal kecil yang dapat menyulut api pertengkaran. Dulu saat kami masih tinggal bersama, sering saya merasa tidak betah menjadi satu dengan kakak saya, bahkan begitu banyaknya perbedaan antara saya dan kakak saya, saya ragu apakah kami berdua benar-benar saudara kandung.
Akan tetapi, setelah beberapa bulan saya berpisah dari kakak saya, saya justru mulai merindukannya. Terlebih lagi ketika saya meminta tolong padanya untuk mengirimkan beberapa paket, dengan cepat ia mencarikan dan langsung mengirimkannya untuk saya. Saya juga bingung bagaimanaia punya waktu memikirkan saya di tengah kesibukannya praktek dan menyusun tugas akhir. Saya benar-benar merasa aneh dengan perhatiannya, padahal kakak saya bukan orang yang perhatian dengan orang lain. Selama saya tinggal bersamanya, hampir tidak pernah ia menunjukkan perhatiannya kepada saya secara langsung.
Jujur setelah saya menerima paket yang dikirimkan oleh kakak saya, saya menjadi terharu. Seorang kakak yang selama ini saya ragukan ternyata seorang kakak yang luar biasa. Ya, dia benar-benar kakak kandung saya. Mungkin selama ini kami tidak pernah menunjukkan bahwa kami saling menyayangi, kami juga terlalu gengsi untuk mengatakan sayang satu sama lain secara langsung. Tapi melalui tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa saya menyayanginya. Ya, dialah kakak yang selama ini saya sayangi meski selalu dihiasi pertengkaran diantara kami. Melalui tulisan ini juga saya ingin mengatakan bahwa seorang saudara akan menyadari bahwa ia menyayangi saudaranya saat ia berada jauh dari saudaranya terbukt benar. Ya, terbukti benar bahwa saya benar-benar menyayangi kakak perempun saya, dan saya berharap kami dapat bertemu sesegera mungkin. Ya, mudah-mudahan libur akhir tahun ini saya mendapat kesempatan pulang dan kembali melakukan hal konyol bersama Nikkolina Ayu Kiku Larasati, my worst but the best elder sister.
Senin, 01 Desember 2014
Kamis, 27 November 2014
Senin, 21 Juli 2014
Sepenggal Catatan di Rumah Tuhan
Beberapa hari yang lalu, saya menghabiskan beberapa hari di
Bogor, tepatnya Parung. Setelah menghabiskan empat malam di sana saya bersama
seorang teman baru dari Purwokerto memutuskan untuk pulang bersama. Ya,
perjalanan selama semalaman tidak akan saya lakukan seorang diri, maka dari itu
saya memilih pulang bersama teman saya. Sesuai rencana yang telah kami susun
sebelumnya, saya berangkat dari Parung sekitar pukul tiga sore, naik kendaraan
umum menuju Terminal Lebak Bulus. Karena macetnya jalan ibu kota, saya baru
tiba di terminal sekitar pukul lima sore. Bagi saya, itu adalah perjalanan yang
sangat lama karena jaraknya tidak terlalu jauh. Bila di Yogyakarta, jarak itu
dapat ditempuh hanya dalam waktu kurang dari satu jam.
Sesampainya di terminal, banyak sekali calo-calo berkeliaran
mengelilingi kami untuk menawarkan tiket dengan harga ‘murah’. Karena kami
sudah pernah melakukan perjalanan yang sama sebelumnya, kami acuhkan saja
calo-calo tersebut, dan langsung berjalan ke arah masjid di terminal tersebut
diiringi gerutuan para calo.
Ternyata, kami melakukan sebuah kesalahan. Sebelumnya, kami
belum memesan tiket bus, sehingga kami harus menunggu bus malam terakhir yang
akan tiba hari itu. Bus yang akan kami naiki akan tiba sekitar pukul setengah
delapan malam. Ya, ternyata kami harus berbuka puasa di masjid Terminal Lebak
Bulus. Awalnya memang saya merasa aneh dan jenuh bila harus berbuka puasa di
tempat seperti itu. Bayangkan saja, saat rasa haus mulai menyerang setelah
terjebak macet dan tangan yang mulai lelah membawa tas yang sangat berat, kami
harus menunggu waktu berbuka di tengah-tengah teriakan calo, pedagang asongan,
dan entah teriakan apa lagi. Benar-benar sebuah ujian yang sangat berat bagi
saya, mengingat selama ini pemahaman saya mengeai agama sangat kurang.
Lima menit terasa sangat lama, seolah-olah kami telah menunggu
selama berjam-jam. Setelah penantian yang sangat panjang dan melelahkan,
akhirnya bedug di masjid dipukul, adzan pun dikumandangkan oleh muadzin.
Rasanya lega, semua rasa lelah hilang seketika. Kami memutuskan untuk duduk di
serambi masjid untuk minum sekedar membatalkan puasa. Air mineral yang kami
teguk terasa sangat menyegarkan kerongkongan. Ya, itulah kenikmatan berbuka
puasa, minuman apapun mampu menyegarkan dan menghilangkan rasa dahaga seketika.
Tiba-tiba, salah seorang takmir masjid itu memberikan kami
masing-masing segelas kolak dan sepiring makanan kecil sekedar untuk mengganjal
perut saat berbuka. Kami benar-benar tak menyangka, di tengah-tengah tempat
yang menurut kami ‘keras’, masih ada banyak kebaikan dari beberapa orang di
sekeliling kami.
Seketika, saya langsung merasa tersentuh. Ternyata, tempat
yang ‘keras’ bukan berarti tempat yang sama sekali tak ramah. Masih ada orang
yang peduli pada sesama, yang tidak hanya mementingkan diri sendiri. Masih ada
orang yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata. Yang lebih membuat
saya tersentuh, semua itu saya alami di sebuah masjid. Tempat ibadah yang
selama ini jarang sekali saya kunjungi. Ya, Tuhan telah membuka mata hati saya.
Tuhan telah mengajarkan pada saya untuk tetap peduli pada sesama dimanapun saya
berada. Juga mengingatkan saya untuk sering mengunjungi rumah Tuhan, karena
hanya di rumah-Nya lah kita dapat merasa aman dan tentram.
Minggu, 29 Juni 2014
Sebuah Pilihan
Seorang penulis yang sangat saya kagumi telah memilih jalan hidupnya. Ia seorang Pengagum Senja yang telah menyadarkan saya apa itu hidup. Bagi dirinya, hidup adalah mengekspresikan diri dan pikiran melalui sebuah tulisan. Tak perlu tulisan yang panjang, yang penting bermakna. Lewat tulisan-tulisannya, saya menjadi sadar bahwa menulis adalah bagian dari hidup saya yang telah lama terlupakan. Semenjak bertemu dengannya, saya menjadi semangat untuk menulis, menulis apa saja untuk mencurahkan ekspresi saya. Selama dua bulan bertemu dengannya, saya mulai menyadari bahwa saya sangat mengaguminya, seperti ia mengagumi senja. Meskipun ia tak pernah tahu keberadaan saya selama ini, saya tetap mengaguminya. Sayangnya, kami berdua hanyalah dua buah garis yang berpotongan. Hanya mampu bertemu di satu titik, tapi tak dapat bertemu lagi. Kabar yang saya tahu, setelah lulus SMA, ia melanjutkan ke Seminari Menengah, menjalani kelas persiapan selama satu tahun. Bulan April lalu, ia telah lulus dari Seminari Menengah, dan ia mendaftar di Jesuit. Ia diterima, dan sekarang ia resmi menjadi seorang frater. Tanggal 21 Juni lalu, ia telah berangkat untuk memulai menempuh pendidikan agar ia siap menjadi seorang pater. Ya, ia telah memilih jalan hidupnya untuk berkarya dalam nama Tuhan, bekerja di ladang-Nya. Mungkin sebuah pilihan yang terasa berat bagi kita sebagai orang awam, tapi saya yakin ia telah menentukan pilihan itu sesuai hati nuraninya.
Selamat jalan Pengagum Senja, kau akan selalu kukagumi, dan tulisanmu akan selalu kutunggu. Semoga kita dapat bertemu lagi di lain waktu, dan sampai saat itu aku akan tetap menjadi pengagummu. Selamat jalan, selamat berjuang, fr. Raymondus Braja Restu SJ.
Selamat jalan Pengagum Senja, kau akan selalu kukagumi, dan tulisanmu akan selalu kutunggu. Semoga kita dapat bertemu lagi di lain waktu, dan sampai saat itu aku akan tetap menjadi pengagummu. Selamat jalan, selamat berjuang, fr. Raymondus Braja Restu SJ.
Sabtu, 04 Januari 2014
Pengagum Senja
Senja. satu kata sederhana yang tak lagi dihiraukan. Mungkin, sebagian orang telah melupakan keberadaannya. Tapi tidak untukmu. Bagimu, senja adalah waktu terindah dalam dua puluh empat jam. Senjalah yang menghubungkan siang dan malam. Jembatan antara matahari dan bulan. Senja memang tak sebenderang siang, juga tak sepekat malam. Namun, senja selalu memberi arti yang mendalam bagimu. Saat tak seorangpun menyadari kehadiran senja, kau selalu setia menanti senja. Meski hanya tampak dalam hitungan menit, kau tetap menikmati kehadirannya. Warna senja yang indah begitu memukaumu. Entah merah muda atau nila, kau tak tahu apa namanya. Akan tetapi, bagimu itu tak penting karena kau yakin, semua yang indah tak selalu bernama, tapi pasti memberi makna.
Namun, senja tetaplah senja. Seberapapun besarnya kekagumanmu terhadap senja, kau tak dapat memilikinya. Kesetiaanmu menanti hadirnya senja tak mampu membantumu untuk meraih senja. Kau hanya mampu menikmati senja dari jauh. Hanya sanggup menyaksikan keindahannya tanpa sanggup menggenggamnya. Dan tetap saja, kau masih setia menanti hadirnya senja. Seperti aku yang selalu mengagumimu dari jauh, tanpa mampu meraihmu. Namun, aku akan tetap setia mengagumimu, seperti dirimu yang selalu mengagumi senja. Meski pada akhirnya aku tak dapat meraihmu, aku akan selalu mengagumimu dari tempatku berdiri, dari tempat yang tak mungkin kau sadari.
Namun, senja tetaplah senja. Seberapapun besarnya kekagumanmu terhadap senja, kau tak dapat memilikinya. Kesetiaanmu menanti hadirnya senja tak mampu membantumu untuk meraih senja. Kau hanya mampu menikmati senja dari jauh. Hanya sanggup menyaksikan keindahannya tanpa sanggup menggenggamnya. Dan tetap saja, kau masih setia menanti hadirnya senja. Seperti aku yang selalu mengagumimu dari jauh, tanpa mampu meraihmu. Namun, aku akan tetap setia mengagumimu, seperti dirimu yang selalu mengagumi senja. Meski pada akhirnya aku tak dapat meraihmu, aku akan selalu mengagumimu dari tempatku berdiri, dari tempat yang tak mungkin kau sadari.
Rabu, 01 Januari 2014
Tahun 2014 menjadi tahun yang cukup penting untukku. Sebagai pelajar SMA kelas XII, tahun ini aku harus menhadapi Ujian Nasional. Tak hanya itu, masa depanku juga ditentukan tahun ini. Menjadi apa aku nanti, tahun inilah yang akan menjawabnya. Memilih universitas, menghadapi SBMPTN, dan banyak lagi kegelisahan siswa kelas XII pada umumnya. Tahun 2014 ini aku hanya berharap aku dapat menjadi seorang manusia yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, aku dapat menghadapi apa saja yang harus kujalani di tahun 2014. Amin,
Langganan:
Postingan (Atom)