Beberapa hari yang lalu, saya menghabiskan beberapa hari di
Bogor, tepatnya Parung. Setelah menghabiskan empat malam di sana saya bersama
seorang teman baru dari Purwokerto memutuskan untuk pulang bersama. Ya,
perjalanan selama semalaman tidak akan saya lakukan seorang diri, maka dari itu
saya memilih pulang bersama teman saya. Sesuai rencana yang telah kami susun
sebelumnya, saya berangkat dari Parung sekitar pukul tiga sore, naik kendaraan
umum menuju Terminal Lebak Bulus. Karena macetnya jalan ibu kota, saya baru
tiba di terminal sekitar pukul lima sore. Bagi saya, itu adalah perjalanan yang
sangat lama karena jaraknya tidak terlalu jauh. Bila di Yogyakarta, jarak itu
dapat ditempuh hanya dalam waktu kurang dari satu jam.
Sesampainya di terminal, banyak sekali calo-calo berkeliaran
mengelilingi kami untuk menawarkan tiket dengan harga ‘murah’. Karena kami
sudah pernah melakukan perjalanan yang sama sebelumnya, kami acuhkan saja
calo-calo tersebut, dan langsung berjalan ke arah masjid di terminal tersebut
diiringi gerutuan para calo.
Ternyata, kami melakukan sebuah kesalahan. Sebelumnya, kami
belum memesan tiket bus, sehingga kami harus menunggu bus malam terakhir yang
akan tiba hari itu. Bus yang akan kami naiki akan tiba sekitar pukul setengah
delapan malam. Ya, ternyata kami harus berbuka puasa di masjid Terminal Lebak
Bulus. Awalnya memang saya merasa aneh dan jenuh bila harus berbuka puasa di
tempat seperti itu. Bayangkan saja, saat rasa haus mulai menyerang setelah
terjebak macet dan tangan yang mulai lelah membawa tas yang sangat berat, kami
harus menunggu waktu berbuka di tengah-tengah teriakan calo, pedagang asongan,
dan entah teriakan apa lagi. Benar-benar sebuah ujian yang sangat berat bagi
saya, mengingat selama ini pemahaman saya mengeai agama sangat kurang.
Lima menit terasa sangat lama, seolah-olah kami telah menunggu
selama berjam-jam. Setelah penantian yang sangat panjang dan melelahkan,
akhirnya bedug di masjid dipukul, adzan pun dikumandangkan oleh muadzin.
Rasanya lega, semua rasa lelah hilang seketika. Kami memutuskan untuk duduk di
serambi masjid untuk minum sekedar membatalkan puasa. Air mineral yang kami
teguk terasa sangat menyegarkan kerongkongan. Ya, itulah kenikmatan berbuka
puasa, minuman apapun mampu menyegarkan dan menghilangkan rasa dahaga seketika.
Tiba-tiba, salah seorang takmir masjid itu memberikan kami
masing-masing segelas kolak dan sepiring makanan kecil sekedar untuk mengganjal
perut saat berbuka. Kami benar-benar tak menyangka, di tengah-tengah tempat
yang menurut kami ‘keras’, masih ada banyak kebaikan dari beberapa orang di
sekeliling kami.
Seketika, saya langsung merasa tersentuh. Ternyata, tempat
yang ‘keras’ bukan berarti tempat yang sama sekali tak ramah. Masih ada orang
yang peduli pada sesama, yang tidak hanya mementingkan diri sendiri. Masih ada
orang yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata. Yang lebih membuat
saya tersentuh, semua itu saya alami di sebuah masjid. Tempat ibadah yang
selama ini jarang sekali saya kunjungi. Ya, Tuhan telah membuka mata hati saya.
Tuhan telah mengajarkan pada saya untuk tetap peduli pada sesama dimanapun saya
berada. Juga mengingatkan saya untuk sering mengunjungi rumah Tuhan, karena
hanya di rumah-Nya lah kita dapat merasa aman dan tentram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar