Sabtu, 12 Desember 2015

Terima Kasih

Terima kasih atas senyum-Mu pagi ini, kan kujadikan sebagai payung mentari, tempat rinduku mendarat dengan hati-hati. Terima kasih juga atas kebaikan-Mu padaku sedari dulu, selalu, hingga esok yang tak menentu. Terima kasih pula atas sapaan-Mu pagi tadi, yang menemaniku sepanjang hari. Terima kasih, atas banyaknya kasih-Mu yang mampu mengobati perih dan membuatku menjadi lebih gigih. Terima kasih, tangan-Mu menopangku hingga aku mampu menjadi pribadi baru, kujadikan kenangan akan hadir-Mu di hidupku. Begitu banyak terima kasihku pada-Mu, karena aku tak mampu membalas kasih-Mu yang telah kuterima.

Jumat, 27 November 2015

Perasaan

Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, dan mereka punya seribu cara untuk menujukkkan kasih sayang mereka. Terkadang, kita sebagai anaknya saja yang tak pernah bisa membaca bahaa yang mereka gunakan dalam menunjukkan kasih sayang mereka. Dulu, saat saya masih tinggal bersama kedua orang tua saya, tak pernah ada hari dimana kami tidak bertengkar. Hal sepele pun dapat memicu terjadi perang mulut antara saya dengan orang tua saya. Tapi, hal itu tidak lantas membuat mereka membenci saya. Ayah saya masih bersedia menjemput saya pulang saat saya ada kegiatan hingga sore hari. Ibu saya masih menyiapkan makan untuk saya sarapan meski saya harus berangkat ke sekolah pagi buta. Memang, tak pernah ada kalimat sayang dari mereka, namun saya yakin, kasih yang mereka berikan pada saya lebih besar dari ungkapan kalimat. Hingga akhirnya saya harus tinggal jauh dari kedua orangtua saya, saya masih yakiin bahwa mereka masih tetap menyayangi saya. Memang, ayah saya makin sibuk dengan pekerjaannya hingga ia tak sempat menelpon saya tiap hari. Ibu saya juga mempunyai usaha yang menguras waktunya hingga ia tak pernah sekedar membalas pesan singkat saya. Di akhir pekan pun, mereka tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sehingga mereka tak sempat menerima video call dari saya. Sempat terlintas di pikiran saya bahwa kasih sayang kedua orangtua saya sudah tidak seperti dulu, mungkin karena kami tidak tinggal bersama lagi menyebabkan kasih sayang mereka mulai berkurang. Tapi ternyata, saya salah. Orangtua saya tetap menyayangi saya, seprti dulu. Meski tidak lagi dengan perbuatan mereka, tapi saya yakin apa yang mereka lakukan sekarang demi kebaikan kami, anak-anaknya. Mungkin mereka menyibukkan diri agar mengalihkan rasa kangen berkumpul dengan anak mereka, dan mereka bekerja keras agar anak mereka dapat hidup dengan layak. Sering saya merasa iri dengan teman-teman lain yang menerima telepon dari orangtua mereka hampir tiap hari. Akan tetapi, perasaan itu saya tepis jauh-jauh karena saya yakin setiap orang punya cara berbeda untuk menunjukkan kasih sayang mereka, termasuk orangtua saya. Setidaknya, orangtua saya sedang mengajarkan pada kami untuk bertahan hidup di tempat yang jauh dari mereka agar kami dapat tumbuh dewasa dan menjadi mandiri, bukan menjadi pribadi yang cengeng. Saat menulis ini, tak sabar rasanya menanti libur akhir tahun dan cepat-cepat bertemu dengan orangtua saya. Meski hanya pertemuan singkat, tapi setidaknya dapat meyakinkan diri saya bahwa kasih yang mereka beri akas selalu sama dari dulu, selalu, dan melulu.

Sabtu, 21 November 2015

Komunikasi

Seorang teman bercerita pada saya bahwa ia marah dengan kalimat yang dilontarkan oleh teman yang lain, sedangkan teman yang lain itu juga mengeluhkan ia merasa tidak terima dengan kalimat yang dicapkan oleh teman tadi. Jujur, saya tidak tahu harus melakukan apa, karena masing-masing pihak saling menyalahkan satu sama lain dan beranggapan merekalah yang paling benar. Itulah manusia dengan segala kerumitan hidupnya. Sebenarnya, masalah yang mereka hadapi, dan pasti semua orang prnah alami hanyalah satu hal sepele yang dibiarkan berlarut-larut, yaitu komunikasi. Ya, komunikasi. Mungkin, banyak orang beraggapan bahwa komunikasi hanyalah proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, komunikasi antarmanusia tak sesederhana itu. mengapa? Karena manusia memiliki hati dan perasaan yang bisa saja terluka kapanpun, oleh siapapun, dan dimanapun saat komunikasi berlangsung. Saya pribadi mungkin bukan orag yang baik dalam berkomunikasi, masih sulit untuk menahan amarah saat emosi menutupi pikiran jernih kala berkomunikasi dengan orang lain. Saya juga sering berkomunikasi yang pada akhirnya membuat terluka orang yang mendengarnya. Mausia memang tempat segala bentuk kelemahan dan kesalahan. Hal sepele seperti berkomunikasi pun masih sering melakukan kesalahan hingga menyakiti orang lain. Tapi, itulah proses kedewasaan. Mungkin, hari ini kita mendapat masalah dalam berkomunikasi, sehingga menyebabkan pertengkaran. Cepatlah meminta maaf, jalin kembali komunikasi yang telah rusak, dan jangan biarkan miskomunikasi merusak hubungan kita dengan sesama manusia. Lupakan sakit hati karena kesalahan tak disengaja saat berkomunikasi dengan orang lain, jadikan pembelajaran, dan yakinlah di hari esok tak akan ada lagi hati yang merasa sakit karena kesalahan kita dalam berkomunikasi. Dan yang paling penting, cobalah saling memahami dalam berkomunikasi, terima pesan dengan lapang dada dan sampaikanlah pesan dengan baik. Selamat berkomunikasi...

Rabu, 11 November 2015

Runtuhan

Mungkin, bangunan ini terlihat seperti runtuhan di tengah padatnya Kota Jogja. Tapi, beratus tahun yang lalu, bangunan ini berdiri dengan megah, menjadi pusat peradaban Kota Jogja. Jauh sebelum arus modernisasi melanda negeri, bangunan ini telah berdiri kokoh dengan segala keanggunannya, memberitahu para penjajah bahwa Jogja memiliki seorang Raja yang hebat. Memang, bangunan itu kini hanya terlihat sebagai 'runtuhan' di tengah megahnya pembangunan hotel yang kian marak di Kota Jogja. Akan tetapi, bangunan ini tetaplah berharga bagi saya. Saksi bisu kemegahan Kerajaan Mataram dan kegagahan paar tentara Mataram kala itu. Bila Anda berkunjung ke Kota Jogja, sempatkanlah menengok 'runtuhan' ini, dan percayalah, Anda akan terkagum-kagum dengan 'runtuhan' ini.

Selasa, 10 November 2015

Tak Sempurna

Kita sudah melakukan yang terbaik, tapi masih saja selalu dianggap kurang. Kita sudah merelakan segala hal yang kita punya, tapi mereka tak pernah puas. Kita sudah melakukan dengan benar, tetapi masih saja selalu disalahkan. Ya, itulah manusia. Entah mengapa dan bagaimana, semua hal tak pernah dianggap sempurna oleh manusia. Padahal, manusia itu sendiri yang memang tak pernah sempurna. Tapi yakinlah, Tuhan Yang Mahasempurna selalu mengajarkan kita untuk menerima dengan ikhlas ketidaksempurnaan kita. Manusia memang tak ada yang sempurna, tapi cobalah untuk menerima ketaksempurnaan itu. Kurangilah menuntut yang terbaik dan sempurna, agar kita tidak merasa kecewa di akhir nanti. Terima dengan lapang dada apa yang menjadi kekurangan kita, dan berusahalah untuk memberikan yang terbaik. Biarkan saja orang lain mencibir ketidaksempurnaanmu saat kau telah berusaha sebaik mungkin. Sadarilah kita memang tak pernah sempurna, namun ketidaksempurnaan itulah yang membuat dunia semakin indah dengan saling melegkapi.

Selasa, 03 November 2015

Jogja, Never Ending Story

Jogja, tempat yang aku tuju saat aku pulang. Banyak cerita disana, sedih, senang, konyol, dan masih banyak lagi. Dan yang pasti, ia selalu menyambutku dengan ramah saat aku pulang. Jogja, banyak cerita yang tak akan pernah habis di sana. Karena di setiap sudut Jogja pasti ada cerita.

Senin, 02 November 2015

Laut dan Ombak

Sejenak pikiranku terantuk baru karang dan tenggelam ke dasar laut, merasakan kesegaran air yang meresap ke dalam pori-pori kulitku. Begitu juga dengan-Nya, yang selalu ada, meresap lewat pori-pori jiwa dan membuatku yakin bahwa lahir dan perjuanganku untuk hidup di dunia ini tidak ada yang sia-sia. Sebenarnya, ilmu yang kumiliki samasekali tidak cukup untuk mengenal-Nya seutuhnya. Namun, Dia mengenalku, bahkan lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Mungkin aku tak bisa melihat-Nya yang sedang menatapku dari jauh, namun desir ombak yang menerpa kakiku sedang memberi pesan bahwa Ia sebenarnya berada di sisiku. Aku memang tidak cukup rendah hati untuk membagi sedikit kasih sayangky pada-Nya, seperti limpahan kasih sayang-Nya padaku yang tak pernah habis. Langit boleh saja menutup tirai senja, tetapi kasih sayang-Nya tidak akan tertutup selamanya. Terima kasih, untuk kasih-Mu yang dulu, selalu, dan melulu.

Rabu, 28 Oktober 2015

Sang Arsitek

Pada saat saya duduk di kelas dua SMA, saya dan teman-teman pernah mencoba untuk membantu saudara kita yang kurang beruntung. Minimal satu kali dalam seminggu, kami mengunjungi SLB B yang letaknya tak jau dari SMA. Apa yang kami lakukan di sana hanya sekedar berbagi apa yang kami punya. Terkadang, kami mencoba mengajar adik-adik yang tunarungu, meskipun lebih banyak kami yang belajar dari mereka. Berinteraksi dengan mereka membuat kami makin sadar bahwa Tuhan Arsitek Yang Agung. Dibalik kekurangan, pasti ada kelebihan yang Ia beri untuk dapat dibanggakan. Salah satu teman di SLB tersebut telah membuktikannya pada kami. Ya, dibalik fisiknya yang tak seperti kami, ia menyimpan bakat yang luar biasa. Ia memiliki bakat untuk menuangkan imajinasinya di atas kanvas. Banyak hasil lukisannya yang telah menjadi juara dari tingkat lokal hingga nasional. Tak hanya itu, banyak kolektor yang membeli lukisannya untuk dijadikan koleksi. Ya, oragtuanya pasti sangat bangga terhadap bakt yang ia miliki. Di tengah keterbatasan, ia mampu mengembangkan bakatnya. Jujur, seringkali saya berpikir bahwa Tuhan itu tidak adil. Akan tetapi, piiran saya langsung hilang seketika bila mengingat pengalaman saya di SLB dulu. Tuhan adalah sang Arsitek yang telah merancang dunia ini dengan akurat. Tak ada satu pun makhluk-Nya yang Ia biarkan menderita. Ia telah merancang bahwa semua ciptaan-Nya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Memang terdengar klise, tapi percayalah, hidup kita telah Ia rancang dengan sempurna, tanpa cela sedikitpun. Hanya terkadang, kita sebagai manusia yang kurang bersyukur dan kurang percaya terhadap kehebatan-Nya. Cobalah untuk yakin bahwa Ia memang Arsitek dalam hidup kita, jalani saja sesuai dengan rancangan-Nya. Dan cobalah untuk terus bersyukur.

Selasa, 27 Oktober 2015

Karena senja datangnya tak selalu, ajarkan aku bagaimana cara menghentikan waktu.

Sumpah atau Sampah Pemuda ?

Delapan puluh tujuh tahu lalu, banyak pemuda berusia dua puluhan berkumpul dan membahas arah dan tujuan bangsa ini. Mereka sudah merencanakan akan diapakan negara ini kelak. Hasilnya? Pembacaan ikrar Sumpah Pemuda yang menyatukan mereka dalam nama persatuan. Soekarno, Sutan Sjahrir, Muh. Yamin, dan masih banyak lagi para pendiri bangsa ini yang umurnya terbilang masih sangat muda telah menghasilkan rencana mengenai bangsa ini, padahal kejadian itu jauh sbeelum Indonesia Merdeka. Ya, meskipun mereka masih merasakan kejamnya kekuasaan penjajahan, mereka telah memiliki pandangan ke depan terhadap masa depan ibu pertiwi. Rasanya, bangga sekali memiliki pendiri bangsa seperti mereka. Akan tetapi, bagaimana dengan saat ini? Di usia yang hampir sama dengan para pendiri bangsa ini, saya merasa saya belum menghasilkan apa-apa untuk ibu pertiwi. Jangankan memikirkan bagaimana negeri ini kelak, memikirkan bagaimana saya mampu bertahan di tempat saya sekolah saja rasanya sulit sekali. Padahal, saya tidak merasakan kejamnya penjajahan. Saya bisa dengan mudah mengakses informasi dari berbagai media, bebas untuk berpikir, dan mengeluarkan pendapat saya. Namun, tak sedikit pun terbesit di pikiran saya mengenai bangsa ini. Mari kita sejenak melupakan masalah pribadi kita, dan cobalah untuk membuka mata, melihat keadaan bangsa ini. Bila delapan puluh tujuh tahun lalu pemuda seusia kita berkumpul dan membahas masa depan bangsa, apa yang dilakukan oleh sebagian besar pemuda bangsa ini? Tawuran antarpelajar, pergaulan bebas, narkoba, bullying di sekolah, dan masih banyak lagi perbuatan para pemuda bangsa yang menyedihkan. Di alam kemrdekaan ini, keadaan kita justru lebih terpuruk. Tak ada bedanya dengan sampah yang justru menjadi beban bagi negara. Saya pernah membayangkan, bila pemuda angkatan 1928 hadir saat ini, apa yang mereka pikirkan melihat kenyataan saat ini? Akankah mereka merasa bangga dengan kita, generasi penerus mereka? Saya rasa tidak. Justru mereka akan merasa kecewa melihat apa yang terjadi saat ini. Ikrar Sumpah Pemuda yang mereka tanam dalam diri demi mencapai Indonesia merdeka, kini telah hilang dalam diri pemuda saat ini. Ya, pembacaan Ikrar Sumpah Pemuda hanya menjadi 'tradisi' yang harus dilakukan dalam upacara peringatan Sumpah Pemuda. tak lagi dihayati, tak lagi diresapi. Ironis memang. Di hari Sumpah Pemuda ini, cobalah pikirkan. Apa yang bisa kita perbuat untuk meneruskan perjuangan para pendiri bangsa kita? Bila kita belum melakukannya, maukah kita memulainya saat ini juga? Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, hanya perlu direnungkan dan disikapi dengan bijak.

Senin, 26 Oktober 2015

Terima Kasih atas Senyum-Mu

Terima kasih atas senyum-Mu pagi ini, akan kujadikan sebagai payung mentari, tempat rinduku mendarat dengan hati-hati. Terkadang, kita lupa berterima kasih atas pagi hari yang telah kita lalui. Kita justru sering menggerutu di pagi hari, mengeluhkan tentang padatnya jadwal hari ini, mengeluh tentang waktu tidur yang masih kurang, dan masih banyak lagi. Seolah-olah, pagi hari adalah waktu untuk mengeluhkan segala hal yang belum terjadi di hari ini, dan pada malam hari, gerutuan kita makin bertambah karena hari yang kita lalui benar-benar buruk. Manusia memang aneh. Ya, manusia selalu mengeluhkan apa yang belum terjadi, dan bila semua keluhan itu benar-benar terjadi, mereka akan mengeluh juga. Pernahkah kalian berpikir, bahwa keluhan itu tak ada artinya sama sekali? Keluhan yang keluar dari mulut kita hanya akan menambah daftar panjang kesialan kita. mengapa kita tak mencoba untuk mengubah keluhan kita di pagi hari dengan ucapan terima kasih pada Tuhan? Rasa terima kasih kita karena kita masih bisa hidup, bernafas, dan diberi kekuatan untuk menjalani pagi ini. Cobalah berterima kasih di pagi hari, karena Tuhan telah memberi senyuman-Nya untuk memberi kita semangat menjalani hari, memberi kita energi untuk melakukan tugas kita sebagai makhluk-Nya.

Minggu, 25 Oktober 2015

Senin

Senin. Apa yang salah denga hari Senin ? Mengapa semua orang tak pernah menyukai hari Senin ? Ya, Senin adalah hari yang cukup menyebalkan. Setelah bersenang-senang selama akhir pekan, malas sekali rasanya memulai hari panjang yang melelahkan. Sebagai mahasiswa, saya pun sering merasa malas bertemu hari Senin. Pada hari Senin, jadwal pelajaran penuh dari jam delapan pagi hingga jam empat sore. Belum lagi tugas dan deadline yang diberikan oleh dosen rata-rata jatuh pada hari Senin. Setelah bersantai di akhir pekan, rasanya malas sekali memulai awal minggu dengan penuh 'perjuangan'. Sebenarnya, Senin tidak ada bedanya denga hari lain. Senin sama saja dengan Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Hanya sebuah nama yang menunjukkan waktu selama dua puluh empat jam. Dan waktu di hari Senin pun akan berjalan dengan sangat cepat, asal kita memulainya dengan senang. Mungkin ini terdengar klise, tapi cobalah tersenyum di hari Senin pagi, dan jalani saja waktumu. Entah itu melelahkan, membosankan, maupun menyenangkan, jalani saja.

Senin, 12 Oktober 2015

Aku Ingin Mencintaimu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan epada hujan yang menjadikannya tiada.

Ya, kadang rasa sayang itu sangat sederhana. Tak perlu rumit, yang penting tulus saja. Sayangnya, kita sendiri yang menyebabkan rasa itu menjadi rumit. Tapi tetap saja, menyayangi itu karunia terindah dari Tuhan.

Senin, 05 Oktober 2015

Salah

Manusia memang ditakdirkan untuk selalu salah, itu sebabnya Tuhan Maha Pemaaf. Ya, meski kita sudah berusaha sebaik mungkin melakukan semua hal, tetap saja itu adalah hal terbaik versi kita sendiri. Di mata orang lain, masih saja kita melakukan kesalahan. Tapi, itulah hidup. Seberapa besar usaha kita memberikan yang terbaik, tetap saja kita adalah makhluk yang tak pernah luput dari salah.
Bagaimana rasanya? Sedih, marah, kesal? Pasti kita semua merasakan hal itu. Wajar.
Tapi, setidaknya, kita harus ikhlas. Ikhlas dan menerima bahwa kita memang ditakdirkan untuk melakukan salah. Asal, jangan pernah mau melakukam kesalahan yang sama dan tetap lakukan segala sesuatu dengan versi terbaik kita.

Senin, 14 September 2015

Menerima

Sebuah kata yang cukup simpel tapi snagat sulit untuk dilakukan. Menerima. Ya, bagi saya, menerima adalah hal yang snagat sulit dilakukan. Tumbuh dengan sifat emosi yang kurang stabil membuat saya sulit untuk menerima. Menerima bahwa saya harus berpisah dengan teman-teman saya. Menerima bahwa saya tak bisa lagi tinggal bersama keluarga saya. menerima bahwa memang inilah kehidupan yang telah saya pilih sebelumnya.
Sulit memnag untuk saya lakukan, tapi saya tak punya pilihan lain selain menerima. Ya, hanya itu yang harus saya lakukan saat ini. Menerima dengan ikhlas kehidupan yang saya jalani saat ini.
Tapi, lama kelamaan saya belajar untuk menerima dengan sisi yang sebaliknya. Saya belajar menerima bahwa saya sangat beruntung berhasil menempuh sekolah di tempat yang dari dulu saya inginkan. Saya mencoba menerima bahwa saya memang sudah dianggap dewasa untuk hidup mandiri jauh dari keluarga. Saya juga berusaha menerima bahwa teman-teman saya dulu telah sibuk, dan kini saya mendapatkan tak hanya teman, tapi saudara selama saya hidup di sini. Ya, menerima memang sulit, tetapi bukan berarti tak bisa kita lakukan.
Saat menulis ini, saya memang belum sepenuhnya menerima dengan ikhlas kehidupan yang sedang saya jalani. Namun, saya sedang berusaha untuk menerima dengan sepenuh hati bahwa di sinilah saya sekarang. Terkadang, hidup memang tidak seperti yang kita inginkan, tapi jangan pernah sesali itu. Sebaliknya, pikirkanlah hal terbaik dalam hidupmu saat ini dan cobalah untuk menerimanya. Tak perlu memiliki hidup yang sempurna untuk menjadi orang yang bahagia, cukup menjadi seorang yang selalu menerima dengan ikhlas kehidupan yang telah Tuhan hadiahkan, dan kita akan diliputi kebahagian. Yah, hidup memang sesederhana itu. Kita saja yang terkadang membuatnya terasa sulit.
Mulai saat ini, cobalah untuk menerima...

Senin, 29 Juni 2015

Belajar Menghafal

Ramadhan tahun ini sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Tahun ini adalah tahun pertama saya menjalankan ibadah puasa di asrama. Tak ada lagi sahur bersama kakak, jalan sore untuk ngabuburit bersama kakak dan temna-teman, buka bersama teman-teman, dan lain sebagainya. Bulan Ramadhan kali ini saya harus berada di asrama, tak ada acara buka di luar. Ya, benar-benra suasana yang berbeda. Saya merasa sangat merindukan suasana Ramadhan tahun lalu, saat saya masih bebas bepergian keluar masuk rumah.
Namun, satu hal yang saya hanyut dalam Ramadhan tahun ini. Saya mulai belajar menghafal ayat dari kitab suci. Ya, setiap pagi setelah shalt subuh berjamaah di mushola kampus, ada kegiatan yang bertema One Day One Ayat, yaitu kegiatan dimana kita wajib mencoba menghafal minimal satu ayat dari Al Qur'an.
Entah mengapa, saya merasa hanyut ketika kata demi kata dalam bahasa Arab yang sama sekali tidak saya mengerti terasa mengalir keluar dari mulut ketika saya mencoba belajar menghafal. Memang, dibandingkan dengan teman0teman lain yang sudah sangat hafal, saya tak dapat dibandingkan. Hanya menghafal empat ayat pertama dari surah Ar Rohman pun setengah mati rasanya saya menghafal. Benar-benar sulit.  Tetapi, Saya merasa ada sesuatu yang berbeda ketika saya menghafal ayat-ayat tersebut. Memang sangat sulit, tapi saya justru merasa tenang dalam kesulitan itu. Saya merasa seperti sedang mengeja apa yag telah Tuhan katakan pada saya. Meski terbata, tapi ada rasa ingin memahami apa yang telah Ia katakan.
Bila ada satu hal yang saya inginkan pada Ramadhan ini, saya ingin terus belajar menghafal. Kata demi kata dari Tuhan ingin saya hafal, meski terbata.