Sabtu, 26 Oktober 2013

Kost

Beberapa bulan yang lalu, orangtua saya membuat sebuah keputusan yang benar-benar mengejutkan. Mereka berencana agar aku dan kakakku hanya tinggal berdua sebagai anak kost. Awalnya aku benar-benar tak mau menerima rencana tersebut. Selama ini tak pernah terlintas sedikit pun di pikiranku untuk menjadi anak kost meskipun jarak dari rumah ke sekolah sekitar 30 km.
Namun, rencana orangtuaku harus tetap berjalan. Aku tak punya pilihan lain selain tinggal berdua dengan kakakku. Kakakku, yang lebih tua dua puluh dua bulan dariku sepertinya tal dapat disebut kakak. Aku tak pernah dekat dengannya, berbicara pun sangat jarang. Ia orang yang keras kepala dan gampang marah, jadi aku malas berurusan dengannya. Hubungan antara aku dan dia bukanlah sebuah hubungan selayaknya adik dan kakak. Aku tak dapat membayangkan harus tinggal berdua dengannya tanpa orangtuaku.
Sudah sekitar satu bulan aku menjadi anak kost. Ada banyak hal yang kurasakan sangat berbeda. Dulu, setiap pulang dari sekolah, selalu ada sapaan hangat  dari ibuku. Saat aku membuka pintu rumah, ia selalu menyambutku pulang dengan beberapa pertanyaan yang sebenarnya tidak penting, tapi benar-benar kurindukan sekarang. Ibuku pasti bertanya, bagaimana tadi di sekolah, tugas yang kukerjakan semalam mendapat nilai berapa, atau bagaimana tadi ulangan hariannya. Dulu aku merasa sedikit terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi skarang aku justru ingin mendapat pertanyaan itu lagi ketika membuka pintu. Dulu, sesore apapun aku pulang, selalu ada ayahku yang bersedia menjemputku. Aku tak akan merasa khawatir jam berapa aku pulang karena pasti ayahku akan menungguku dengan sabar.
Sayangnya, semua itu tak dapat lagi kurasakan. Aku hanya bertemu dengan orangtuaku sekali dalam seminggu, itu juga dalam waktu yang singkat. tak dapat mengobati rasa rinduku pada mereka selama seminggu.
Untungnya, terjadi perubahan besar mengenai hubunganku dengan kakakku. Ya, dengan segala kekerasan kepalanya dan keegoisannya, ia bersedia menjadi pengganti orangtuaku untuk sementara waktu. Memang dia sering menyebalkan, tapi setidaknya ia telah menunjukkan sedikit kepeduliannya padaku. Hubungan kami makin dekat, meski tak jarang pula kami bertengkar hanya karena masalah sepele.
Akan tetapi, itulah keluarga. Tidak masuk akal, tapi nyata. Pertanyaan dari ibuku yang dulu kuanggap mengganggu, kini kurindukan. Aku dulu selalu menjaga jarak dengan orangtuaku agar tidak dicap sebagai anak manja, tapi sekarang aku ingin menjadi anak mereka yang manja. Dulu kakakku selalu kuanggap sebagai monster yang mengganggu hidupku, tapi sekarang ialah pengganti orangtuaku.
Menjadi anak kost membuatku sadar satu hal, arti penting keluarga. Meski aku harus tinggal jauh dari orangtuaku, tapi aku yakin limpahan kasih mereka tak akan pernah habis. Perhatian mereka selalu untukku, meski cara mereka menunjukkannya sudah berbeda. Dan kakakku, aku tahu dia akan selalu menjagaku di sini, meski kadang ia terlalu gengsi untuk menunjukkannya secara langsung padaku.



Kamis, 24 Oktober 2013

Sebuah Cerita

Sore tadi, aku mendengar sebuah cerita dari seorang teman yang sedang melakukan praktik di sebuah rumah sakit umum tak jauh dari tempatku tinggal. Kemarin, ia menyaksikan bagaimana proses menyuntik mati seorang anak kecil. Seorang anak yang memang telah lama menderita sakit parah disuntik sehingga ia menemui ajalnya dengan cepat.
Jujur, aku tak dapat membayangkan kejadian itu. Seorang anak yang seharusnya dapat merasakan kebahagiaan, harus merelakan kehidupannya. Ia tak lagi mampu merasakan senangnya bermain bersama teman-teman, tak akan pernah mencicipi bangku sekolah, dan tak dapat menikmati limpahan kasih sayang dari orangtuanya.
Terlintas di benakku mengapa orangtua anak itu memutuskan untuk menyuntik mati anaknya. Bukankah setiap orangtua akan melakukan apa saja demi anaknya? Orangtua tak akan menyerah demi kebahagiaan anaknya. Akan tetapi, mengapa orangtua anak ini lebih memilih untuk menyuntik mati anak kesayangannya?
Aku jadi berpikir, aku cukup beruntung dapat merasakan kehidupan hingga saat ini. Aku dapat mencicipi bangku sekolah, melakukan kejahilan sebagai seorang siswa, tertawa bersama teman-teman sebaya, dan masih banyak lagi. Aku beruntung, Tuhan masih mempercayakan waktu-Nya untukku. Namun, apa yang sudah aku lakukan dalam hidup ini?
Ingatanku melayang pada semua perbuatan yang telah kulakukan selama ini. Tak pernah sedikitpun aku berbuat sesuatu untk sesama. Semua yang kulakukan hanya untuk diri sendiri, tak pernah untuk orang lain. Aku jadi malu pada diri sendiri dan Tuhan. Aku telah diberi kesempatan untuk berkarya dalam nama-Nya, tetapi aku tak pernah menggunakan kesempatan itu. Aku telah menyia-nyiakan waktuku selama ini.
Tuhan, aku benar-benar menyesal. Aku adalah manusia yang benar-benar egois. Mungkin, cerita mengenai anak yang disuntik mati adalah rencana-Mu agar aku lebih banyak bersyukur dan tidak menyia-nyiakan waktuku di dunia ini. Terima kasih Tuhan, Kau telah menyadarkanku. Bimbing aku agar segala yang kulakukan dapat bermanfaat bagi orang lain, agar tak sia-sia hidupku di dunia-Mu.

Rabu, 23 Oktober 2013

Menjadi Teman

Dibutuhkan kepercayaan untuk mencari seorang teman. Percaya ia tak akan pernah membeberkan rahasia kita, percaya ia tak akan mengkhianati kita, dan percaya ia benar-benar teman yang baik. Ia juga harus selalu mengerti kita, menemani kita kapan pun, menghibur saat kita sedih, dan masih banyak lagi yang harus dilakukan seorang teman untuk kita.Cukup egois memang, karena kita menuntut teman kita melakukan sesuatu seperti yang kita inginkan. Akan tetapi, pernahkah kita berpikir, apakah kita telah menjadi sosok seperti yang teman kita inginkan? Ternyata, tidak hanya mencari seorang teman saja yang sulit. Menjadi seorang teman juga lebih menyulitkan.

Kamis, 17 Oktober 2013

Tahun terakhir

Apa yang kalian rasakana di tahun terakhir menjadi siswa SMA? Banyak yang beranggapan tahun terakhir adalah tahun yang berat karena hidup akan dipenuhi dengan les, pelajaran tambahan, try out, dll. Sebagai siswa kelas XII, saya juga merasakan hal yang sama. Tugas menumpuk, ulangan harian yang tak ada habisnya, harus berangkat pagi-pagi untuk BBI, les, dan masih banyak hal tak menyenangkan lainnya. Rasanya, waktu yang disediakan Tuhan selama 24 jam tak lagi cukup. Di sela-sela kesibukan itu, terdapat sebuah pertanyaan yang mengganggu pikiran saya selama ini. Mengapa setiap jalan yang kita tempuh untuk mencapai garis akhir harus dibayar dengan rasa lelah dan keringat? Ingin rasanya memprotes Tuhan, mengapa setiap langkah itu tak ada yang menyenangkan. Selalu dipenuhi kesulitan dan rintangan.
Akan tetapi, itulah bukti bahwa Tuhan memang benar-benar ada. Ia membiarkan kita merasa sakit agar kita dapat menjadi pribadi yang tangguh, yang kuat menghadapi segala tantangan. Namun, ia tak pernah memberi rintangan yang tak bisa kita hadapi. Lagi pula, Ia selalu ada dalam diri kita, selalu memberi semangat pada kita untuk terus melanjutkan karya dalam nama-Nya.
Malu rasanya telah berpikiran picik dan berprasangka buruk pada-Nya. Hanya karena merasa lelah, kita sudah mengeluh dan meragukan kebaikan-Nya. Justru maksud Ia memberi rasa lelah pada kita, agar kita dapat merasakan manisnya garis finish.
Untuk kalian yang saat ini merasa lelah, cobalah untuk memejamkan mata saat senja tiba. Kalian pasti akan merasakan suatu kehangatan, merasakan pancaran kasih-Nya yang tulus untuk kalian.

Senin, 14 Oktober 2013

#1



Setiap orang percaya
Memulai adalah proses terberat yang harus dilalui
Akan tetapi aku tak lagi percaya
Karena mengakhirilah yang sangat berat
Seseorang akan selalu memulai dengan senyuman
Tetapi mengakhirinya pasti diiringi dengan air mata

Percaya?


"Kamu percaya Tuhan?"
Pertanyaan itu sering dilontarkan padaku
Saat pertama kali mendapat pertanyaan tersebut, dengan lantang aku menjawab "Ya, aku percaya"
Tetapi semakin lama, jawabanku berubah
Aku tak lagi menjawab dengan lantang
Aku hanya mengangguk bila mendapat pertanyaan itu
Bahkan, aku enggan menjawab
Bukan, bukan karena aku tak lagi percaya pada Tuhan
Aku akan selalu percaya pada-Nya
Akan tetapi, aku ragu
Apakah Dia mempercayaiku?

Hanya Senja

Senja adalah menit-menit yang paling mengesankan
Setelah lelah beraktifitas selama berjam-jam
Senja menjadi tempat pelarian yang tepat
Ia tak pernah menyapa, namun tetap ramah
Ia tak pernah bertanya, namus selalu hangat
Ia hanya diam, tapi mengesankan
Senja menghidupkan segala kenangan masa lalu
Namun juga memberi harapan untuk masa depan
Senja tetaplah senja
Kemarin, hari ini, esok, ataupun lusa
Senja akan selalu hadir
Menemanimu dalam diam