Selasa, 27 Oktober 2015

Sumpah atau Sampah Pemuda ?

Delapan puluh tujuh tahu lalu, banyak pemuda berusia dua puluhan berkumpul dan membahas arah dan tujuan bangsa ini. Mereka sudah merencanakan akan diapakan negara ini kelak. Hasilnya? Pembacaan ikrar Sumpah Pemuda yang menyatukan mereka dalam nama persatuan. Soekarno, Sutan Sjahrir, Muh. Yamin, dan masih banyak lagi para pendiri bangsa ini yang umurnya terbilang masih sangat muda telah menghasilkan rencana mengenai bangsa ini, padahal kejadian itu jauh sbeelum Indonesia Merdeka. Ya, meskipun mereka masih merasakan kejamnya kekuasaan penjajahan, mereka telah memiliki pandangan ke depan terhadap masa depan ibu pertiwi. Rasanya, bangga sekali memiliki pendiri bangsa seperti mereka. Akan tetapi, bagaimana dengan saat ini? Di usia yang hampir sama dengan para pendiri bangsa ini, saya merasa saya belum menghasilkan apa-apa untuk ibu pertiwi. Jangankan memikirkan bagaimana negeri ini kelak, memikirkan bagaimana saya mampu bertahan di tempat saya sekolah saja rasanya sulit sekali. Padahal, saya tidak merasakan kejamnya penjajahan. Saya bisa dengan mudah mengakses informasi dari berbagai media, bebas untuk berpikir, dan mengeluarkan pendapat saya. Namun, tak sedikit pun terbesit di pikiran saya mengenai bangsa ini. Mari kita sejenak melupakan masalah pribadi kita, dan cobalah untuk membuka mata, melihat keadaan bangsa ini. Bila delapan puluh tujuh tahun lalu pemuda seusia kita berkumpul dan membahas masa depan bangsa, apa yang dilakukan oleh sebagian besar pemuda bangsa ini? Tawuran antarpelajar, pergaulan bebas, narkoba, bullying di sekolah, dan masih banyak lagi perbuatan para pemuda bangsa yang menyedihkan. Di alam kemrdekaan ini, keadaan kita justru lebih terpuruk. Tak ada bedanya dengan sampah yang justru menjadi beban bagi negara. Saya pernah membayangkan, bila pemuda angkatan 1928 hadir saat ini, apa yang mereka pikirkan melihat kenyataan saat ini? Akankah mereka merasa bangga dengan kita, generasi penerus mereka? Saya rasa tidak. Justru mereka akan merasa kecewa melihat apa yang terjadi saat ini. Ikrar Sumpah Pemuda yang mereka tanam dalam diri demi mencapai Indonesia merdeka, kini telah hilang dalam diri pemuda saat ini. Ya, pembacaan Ikrar Sumpah Pemuda hanya menjadi 'tradisi' yang harus dilakukan dalam upacara peringatan Sumpah Pemuda. tak lagi dihayati, tak lagi diresapi. Ironis memang. Di hari Sumpah Pemuda ini, cobalah pikirkan. Apa yang bisa kita perbuat untuk meneruskan perjuangan para pendiri bangsa kita? Bila kita belum melakukannya, maukah kita memulainya saat ini juga? Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, hanya perlu direnungkan dan disikapi dengan bijak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar